Istilah ubrug diambil dari bahasa Sunda yaitu saubrug-ubrug yang
artinya bercampur baur. Dalam pelaksanannya, kesenian ubrug ini
kegiatannya memang bercampur yaitu antara pemain/pelaku dengan nayaga
yang berada dalam satu tempat atau arena. Namun ada pendapat bahwa ubrug
diambil dari kata sagebrug yang artinya apa yang ada atau seadanya
dicampurkan, maksudnya yaitu antara nayaga dan pemain lainnya bercampur
dalam satu lokasi atau tempat pertunjukan.
Kesenian
ubrug terdapat di Kecamatan Cikande bagian utara, Kragilan, Carenang,
Pontang, Tirtayasa, Kasemen, Ciruas, Walantaka, Taktakan, Waringin
Kurung, Kramat Watu, Bojonegara, Merak, Cilegon, Anyar, Mancak,
Cinangka, Ciomas, Pabuaran, Padarineang, dan Pamarayan sebelah utara. Di
daerah ini bahasa yang digunakan yaitu bahasa Jawa Banten, sedangkan
yang berbahasa Sunda terdapat di Kecamatan Cikande sebelah selatan,
Kopo, Cikeusal, Baros, Pamarayan Timur dan Selatan serta Petir. Di sini
istilah ubrug diganti dengan istilah topeng, walaupun dalam
pertunjukannya sama dengan ubrug dan tidak memakai topeng. Mungkin hal
ini disebabkan karena Kabupaten Serang bagian tenggara berdekatan dengan
Kabupaten Bogor tempat topeng Cisalak berada.
Selain
menyebar di daerah Serang, kesenian ubrug ini pun berkembang dan
tersebar hingga ke daerah Tangerang, Lebak, Pandeglang bahkan sampai ke
Lampung dan Sumatera Selatan.
Pertunjukkan ubrug hampir mirip dengan
sandiwara lainnya di Tatar Sunda. Juru nandung (wanita) berperan sebagai
pembuka permainan dengan menyanyi Nandung atau disebut ronggeng. Bodor
atau pelawak pria bermain dan berpasangan dengan juru nandung dan
mengadakan tarian sambil melawak seperti permainan ketuk tilu atau
jaipongan. Jika mandor atau ketua RT yang menjadi tuan rumah, biasanya
ia selalu ikut di dalam permainan sehingga dengan adanya ketua RT ini,
permainan semakin komunikatif dan ramai.
Waditra
yang digunakan dalam ubrug yaitu kendang besar, kendang kecil, goong
kecil, goong angkeb (dulu disebut katung angkub atau betutut), bonang,
rebab, kecrek dan ketuk. Alat-alat ini dibawa oleh satu orang yang
disebut tukang kanco karena alat pemikulnya bernama kanco yaitu tempat
menggantungkan alat-alat tersebut.
Busana yang
dipakai yaitu: juru nandung mengenakan pakain tari lengkap dengan kipas
untuk digunakan pada waktu nandung. Pelawak atau bodor pakaiannya
disesuaikan dengan fungsinya sebagai pelawak yang harus membuat geli
penonton. Bagi nayaga tidak ada ketentuan, hanya harus memakai pakaian
yang rapi dan sopan dan pakaian pemain disesuaikan dengan peran yang
dibawakannya.
Urutan pertunjukan ubrug yakni sebagai
berikut : (1) Tatalu — gamelan ditabuh sedemikian rupa sehingga
kedengaran semarak selama 10-15 menit yang dimulai pada pukul 21.00 WIB.
(2) Lalaguan – Ini kemudian disambung tatalu singkat sekitar 2 menit
dilanjutkan dengan Nandung. (3) Lawakan — lakon atau cerita yang akan
disuguhkan. (4) Soder — yaitu beberapa ronggeng keluar dengan
menampilkan goyang pinggulnya. Para pemain memakaikan kain, baju, topi
atau yang lainnya ke tubuh ronggeng. Sambil dipakai, para ronggeng terus
menari beberapa saat dan kemudian barang-barang tadi dikembalikan
kepada pemiliknya dan si pemilik menerima dengan bayaran seadanya. Soder
berlangsung + 20-30 menit.
Untuk penerangan
digunakan lampu blancong, yaitu lampu minyak tanah yang bersumbu dua
buah dan cukup besar yang diletakkan di tengah arena. Lampu blancong ini
sama dengan oncor dalam ketuk tilu, sama dengan lampu gembrong atau
lampu petromak.
Ubrug dipentaskan di halaman yang
cukup luas dengan tenda seadanya cukup dengan daun kelapa atau rumbia.
Pada saat menyaksikan ubrug, penonton mengelilingi arena.
Sekitar
tahun 1955, ubrug mulai memakai panggung atau ruangan, baik yang
tertutup ataupun terbuka di mana para penonton dapat menyaksikannya dari
segala arah.
tulisan di ambil http://sunda.web.id/kesenian-jawa-barat/ubrug/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar